Itu adalah aroma nostalgia, mengingatkan pada hutan hujan.
Di dalam rumah yang berantakan setelah digeledah para penagih utang, Jane yang sedang duduk di lantai, mendongak melihat seorang pria berdiri di dekat pintu, yang engselnya terlepas dan terbuka lebar.
Sesaat, Jane mengira ia salah lihat. Tidak mungkin ia akan muncul di tempat tinggalnya yang kecil dan kumuh.
Tapi itu benar-benar pria itu.
Hanya ada satu orang di kerajaan itu yang berambut pirang terang, bermata biru bagaikan laut, alis tebal, dan hidung mancung, serta perpaduan antara keanggunan dan keaslian.
Cain Hastings, mantan tunangan Jane dan satu-satunya Adipati Kerajaan Besar Embelon.
Tatapan mata lelaki sombong itu menyapu rumah yang berantakan itu.
“Kau meninggalkanku, dan lihatlah dirimu sekarang, mengerikan.”
Reuni mereka setelah tujuh tahun datang ketika dia tidak menduganya, ketika dia berada di titik terendah dalam hidupnya.
Dia menghentakkan kaki memasuki rumah.
“Payah.”
Setiap kata menusuk hati Jane seperti belati.
“Norak.”
Jane menutup matanya rapat-rapat dan membukanya perlahan.
“Bagaimana kamu… sampai di sini?”
Suara Jane bergetar hebat.
Bersih, mulia, dan bermartabat, dia tidak seharusnya berada di sini.
“Pertanyaan yang salah. Kamu seharusnya bertanya mengapa aku ada di sini.”
“……Silakan pergi”
Ekspresi Cain berubah garang. Namun, dia segera menghapus ekspresinya dan berbicara.
“Saya di sini karena ada urusan yang harus diselesaikan. Kita tidak akan bertemu tanpa alasan.”
Jane menahan napas mendengar kata-kata yang tak terduga itu.
Wajah yang familiar dengan ekspresi yang tidak familiar. Matanya bergetar saat menatap wajah pria yang pernah menjadi tunangannya.
Dia hampir tidak mampu mengalihkan pandangan darinya karena merasa seperti ditarik kembali ke masa-masa ketika dia mencintainya tanpa syarat.
Bibir Kain yang berbisik padanya bahwa dia mencintainya, berdiri dengan sikap seperti pebisnis dan mengeluarkan suara dingin.
“Saya butuh seorang wanita untuk menjadi ibu dari anak saya.”
Matanya yang dingin terasa tak berperasaan.
Pria ini membutuhkan aku.
Lamaran kasar dari laki-laki yang dulunya tunanganku, kini orang asing.
Sebuah kesadaran yang familiar terlintas dalam pikiranku saat aku melihat sorot mata mantan tunanganku yang tidak berubah.
“Bersiap.”
Kesadaran bahwa saya tidak punya pilihan.