Malam itu badai menerpa pohon besar yang bergoyang tertiup angin dan menimbulkan suara berderit di jendela. Pada hari yang sama, di jam yang sama, dua bayi yang baru lahir mulai menangis. Satu lahir di kamar ratu, sementara yang lain lahir di kamar selir.
Kedua bayi itu laki-laki. Yang satu berambut pirang dan berkulit putih, sedangkan yang satu lagi berambut hitam dan memiliki tanda lahir yang mengerikan di tubuhnya.
Di negara ini, anak-anak yang lahir dengan tanda lahir dianggap tidak beruntung. Mereka dianggap membawa dosa besar dari kehidupan masa lalu mereka. Terutama mereka yang lahir dalam keluarga kerajaan dianggap membawa kehancuran bagi negara.
“Tolong tinggalkan anak ini. Ini adalah tradisi keluarga kerajaan kami. Kami akan membuangnya saat fajar. Sampai saat itu, tolong…”
Sang ibu, yang baru saja melahirkan, mendengar kata-kata kejam itu. Waktunya sudah sempit—saat fajar menyingsing, anak ini akan terpisah darinya. Lebih dari itu, nyawa bayi itu akan direnggut.
“Biarkan aku sendiri. Aku ingin menghabiskan sisa waktuku berdua dengan anak ini.” Ucapnya dengan nada tegas saat ia meninggalkan semua orang di ruangan itu.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia menyeret tubuhnya yang lemah, ia segera menulis surat dan menitipkannya pada salah seorang pembantu kepercayaannya, dengan perintah agar surat itu diserahkan secara diam-diam pada orang tertentu.
Tindakan ini saja sudah sulit bagi tubuhnya pascapersalinan. Meskipun demikian, ia memastikan bayi yang baru lahir itu disusui sepuasnya. Akhirnya, ia menggendong bayi itu di lengannya dan berjalan melalui lorong rahasia menuju jalur air bawah tanah di bawah kastil. Di dalam kastil ini, sebuah perahu kecil ditambatkan di jalur air bawah tanah, siap digunakan untuk melarikan diri ke sungai pada saat darurat.
Ia telah mendayung perahu ini beberapa kali sebelumnya, jadi ia yakin akan kemampuannya. Tanpa ragu, sang ibu memeluk bayinya di dadanya dan menaiki perahu serta mulai mendayung ke permukaan sungai.
Ia akan mencari perlindungan pada ratu negeri tetangga yang dekat dengannya; mungkin dengan mempercayakan anak ini padanya akan mendatangkan rasa aman dan negeri tetangga itu berada tepat di seberang tepi sungai.
Namun, arus sungai ternyata lebih deras dari yang ia duga. Badai telah berlalu, tetapi permukaan air masih bergolak, dan perahu terombang-ambing seperti daun. Alih-alih mencapai tepi seberang, mereka malah semakin jauh ke arah laut.
Lalu, ketika puing-puing dari pohon di hulu bertabrakan dengan perahu, dampaknya menyebabkan sang induk terjatuh ke laut, tertelan oleh kedalaman sungai.
Bayi itu ditinggalkan sendirian di perahu kecil, hanyut ke lautan lepas yang mengamuk.