“Aku akan menyerahkanmu pada Zanarf.”
Floria mencoba menendangnya untuk membebaskan diri, tetapi pria itu mencengkeram tubuhnya dengan kuat, membuatnya tidak bisa bergerak. Kepalanya semakin tertunduk, dan dia tidak bisa menahan rasa mual. Pria besar itu dengan cekatan menangkis serangan itu seolah-olah dia sudah terbiasa dengan serangan itu dan membawa Floria pergi entah ke mana.
Sesekali, di tengah-tengah perjalanan, dia mendengar jeritan kesakitan, yang mungkin disebabkan oleh pria itu yang mengayunkan kapaknya.
Dia hampir tidak dapat menahan rasa mual yang meningkat, bahkan tidak mampu mengucapkan doa untuk jiwa-jiwa malang itu.
“Zanarf! Ada seorang wanita muda di sini!”
Sepertinya dia dibawa ke haluan kapal.
Tiba-tiba, lelaki besar itu menjatuhkannya dengan keras ke lantai dek. Pipinya membentur papan yang keras, dan sesaat, rasa sakitnya begitu hebat hingga dia merasa seolah-olah tidak bisa bernapas lagi. Air mata menggenang di matanya, tetapi dia menahannya dan mengangkat wajahnya.
Lalu, dia melihat seorang pria di sisi lain haluan kapal, menatap lurus ke depan.
Seperti pria lainnya, tubuh bagian atasnya telanjang, dan kulitnya yang kecokelatan diterangi oleh cahaya api yang berkedip-kedip. Dia memiliki tubuh yang kokoh dan proporsional, tanpa otot yang tidak perlu, dan membawa dirinya dengan sangat tenang.
Pria jangkung itu perlahan berbalik.
Matanya, dalam bagaikan lautan gelap di malam tanpa bulan, menusuk tajam Floria.
Saat pria itu berjalan mendekat, api unggun memperlihatkan tato biru tua yang indah dengan pola rumit, membentang dari punggung hingga bahunya. Tato itu tampak seperti sayap burung yang terbang tinggi.
Ah, burung bangau…
Entah mengapa, ia merasa seperti deja vu. Seolah-olah burung bangau yang dilihatnya siang tadi telah berubah wujud menjadi manusia dan kini berdiri anggun di haluan.
“Bawa pengkhianat itu maju dulu…!” teriak lelaki bernama Zanarf itu kepada lelaki besar itu.
Seketika itu juga, Pangeran Franz yang terikat tali di belakang punggungnya, didorong ke depan oleh orang-orang barbar dan dihadirkan di hadapan manusia yang menyerupai burung bangau itu.
Orang-orang barbar di sekitarnya berkumpul, dan sorak sorai pun terdengar. Entah bagaimana, marinir Franz tidak terlihat di mana pun. Mereka pasti telah turun dari perahu kecil dan melarikan diri.
Dibandingkan dengan lelaki yang bagaikan bangau ini, Franz yang dianggap Floria kuat dan tegap, tampak rapuh, tidak bisa diandalkan, dan tak berdaya.
Saat lelaki besar itu memaksa Franz berlutut dan menekan kepalanya ke bawah dengan kakinya, menggesekkannya ke dek, Franz gemetar, merasakan apa yang hendak terjadi.
“F-Franz-sama…”
“Mulai sekarang, kita akan membalas dendam pada pangeran ini. Perhatikan baik-baik,” kata lelaki besar itu kepada Floria, senyumnya penuh dengan antisipasi akan hiburan yang akan segera berlangsung. Senyum dingin itu, yang sangat tidak cocok di tengah pemandangan mengerikan ini, membuatnya merinding.
Apa yang akan terjadi bukanlah sekedar hiburan di sebuah pesta.
Itu sesuatu yang jauh lebih mengerikan, jauh lebih mengerikan.
Jantung Floria berdebar kencang di dadanya.
Pria besar itu melemparkan kapak yang dipegangnya ke arah pria yang menyerupai burung bangau itu.
Dengan lengkungan yang longgar, kapak yang berputar itu, seolah telah dilakukan berkali-kali sebelumnya, dengan mudah ditangkap oleh manusia yang menyerupai burung bangau itu.
“Franz, kau harus menebus apa yang telah kau lakukan dengan nyawamu sendiri,” kata lelaki yang mirip burung bangau itu kepada Pangeran Franz dengan suara dingin.
Bahkan Floria mengerti bahwa kata-kata itu berarti hukuman mati.
Apa yang sebenarnya telah dilakukan Franz? Mengapa orang-orang ini menyerang kapal ini?
Bukankah kapal ini seharusnya aman dari serangan seperti itu?
Kenapa? Kenapa…?
Pria yang mirip bangau itu dengan cepat mengangkat kapaknya ke atas. Pada saat itu, tanpa memikirkan akibatnya, tubuh Floria bergerak, dan dia menutupi Franz, melindunginya.
“Tolong, tolong, jangan bunuh dia! Aku akan melakukan apa saja! Asal jangan bunuh suamiku, Franz-sama!” Floria memeluk Franz yang gemetar tak terkendali, dan berteriak sekuat tenaga, heran karena suara seperti itu bisa keluar darinya.
“Suami…?” Suara rendah dan dingin bergema dari atas.
Floria mendongak dengan takut, melihat lelaki yang menyerupai burung bangau itu menurunkan kapaknya ke sisinya, mengernyitkan dahinya saat menatapnya.
“Apakah kamu wanita pangeran ini? Apakah pangeran ini suamimu?”
Suaranya tidak keluar karena ketakutan yang luar biasa. Meskipun begitu, Floria mengangguk putus asa sebagai jawaban.
Tepat saat dia merasakan angin hangat di kulitnya, lelaki yang mirip bangau itu berlutut di samping Floria, mengulurkan tangan yang kuat untuk memegang dagunya yang halus, mengangkat wajahnya ke atas. Di mata biru dinginnya yang menatapnya, dia bisa merasakan sedikit rasa jijik. Seketika, gelombang teror menerpa dirinya.
Jari pria itu membelai bibir Floria, yang kini tanpa kehangatan.
“──Siapa namamu?”