Rasa panas membara di kedua tangan adalah tanda sebuah kehidupan, yang berdetak terus menerus.
Elaine menatap wanita yang duduk di hadapannya sambil memegang jantung yang masih berdetak, meneteskan darah merah. Di sisi kiri dada wanita itu terdapat lubang besar menganga dengan darah menetes darinya.
Elaine merengek, “Apa sih…yang…kamu…lakukan?”
Elaine menyaksikan dengan kaget saat darah mulai mengalir lebih cepat dan mengalir deras dari dada wanita itu. Di dalam lubang itu tidak ada jantung. Penglihatannya kabur sesaat.
Udara di sekitarnya berbau darah. Api membakar semua yang terlihat. Di sekelilingnya terdengar suara bangunan runtuh dan teriakan kematian. Rasa sakit menjalar ke tenggorokan Elaine saat ia menghirup asap hitam.
Di tengah sensasi ini, Elaine merasakan sensasi lengket dan lembab di jari-jarinya.
Dia tidak dapat memahami mengapa, apa yang seharusnya ada di dada wanita itu kini dipegangnya.
Dengan suara gemetar Elaine bertanya kepada pemilik hati itu, “Kenapa…? Seperti ini… Kenapa….?”
Dengan wajah pucat wanita itu menyentuh pipi Elaine dengan lembut. Tangannya terasa dingin saat disentuh. Mengapa begitu dingin, padahal tangan ini pernah menjadi hal terhangat dalam hidup Elaine?
Elaine menatap genangan darah di tanah. Begitu besarnya, sulit untuk membayangkan semua darah itu berasal dari satu orang. Saat darah terus mengalir dari luka, suara wanita itu semakin melemah, seperti nyawanya yang hampir melayang.
“Maafkan aku… Ini semua… salahku…”
Melalui penglihatan Elaine yang samar, dia bisa melihat wanita itu menangis. Bahunya yang halus bergetar pelan. Bagaimana bisa sampai seperti ini?
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kamu bukan tipe orang yang akan melakukan hal seperti ini tanpa alasan.”
Apa yang salah? Kalau boleh jujur, Elaine berharap ini hanya mimpi buruk, mimpi yang akan segera membuatnya terbangun.
“Kekasihku… Elaine…”
Wanita itu berhenti sejenak untuk mengatur napas, terengah-engah seolah-olah dia tidak bisa mendapatkan cukup udara. Namun, ada tekad yang jelas dalam suaranya saat dia terus berbicara.
“Aku akan memberikan hatiku padamu.”
Tiba-tiba pikiran Elaine menjadi jernih seperti tersambar petir. Ia ingin berteriak. Sayangnya, yang keluar dari bibirnya yang kering dan pecah-pecah hanyalah semburan udara.
“Apa kau… gila? Apa kau sudah kehilangan… akal sehatmu? Jika kau memberikan itu padaku…. maka kau akan…”
“Dengan ini…kau akan selamat…”
Hati Elaine terbakar dan dia tidak punya kekuatan lagi untuk melawan. Dalam keadaannya yang menyedihkan, dia hanya bisa pasrah melihat tindakan wanita itu dengan frustrasi, tidak bisa bergerak.
Dia merasa ngeri dan kesal saat melihat wanita itu mengambil hati itu dan menempelkannya di dada Elaine.
“Tidak, jangan lakukan ini!”
“Saya punya satu permintaan terakhir.”
Saat wanita itu menghadapi kematian, ada penyesalan yang terlihat di matanya.
“Maafkan aku karena menanyakan ini padamu. Aku tahu ini tidak tahu malu, tapi… begitu aku pergi, anak itu akan benar-benar sendirian, bukan?”
“Jika kau akan membuat wajah kesakitan seperti itu, jangan minta aku melakukan ini! Tolong, bertahanlah saja!”
“Dia dan anakku… Tolong, lindungi Ash-ku untukku.”
“Bella, kumohon…”
“Tidak ada waktu lagi. Sekarang…”
Dengan mata berkaca-kaca, Bella tersenyum bak bunga. Senyum bak bulan yang selalu menuntunnya melewati kegelapan.
Pada saat itu, Bella menjadi seberkas cahaya yang perlahan mulai menghilang seperti bubuk.
Elaine mengerahkan seluruh tenaganya dan mengulurkan tangan ke arah cahaya, tetapi dia tidak dapat menyentuh apa pun. Tangannya menembus cahaya itu.
Tangannya kosong, tergantung di udara. Bella tidak dapat menghentikan langkahnya. Ia menatap tangannya dengan bingung lalu mendongak. Yang terlihat olehnya hanyalah istana kerajaan di kejauhan, yang menyala terang. Api biru sang penyihir melahap segalanya tanpa henti, seolah mencoba menghapus semua jejak di daratan.
Saat ia berbaring di tanah, Elaine mendengar suara Bella yang samar-samar di udara, “Aku bahagia menghabiskan hidupku bersamamu, Elaine. Aku tidak akan menyesali pilihan ini.”
Dan dengan kata-kata itu, Elain tertidur lelap.
31 Januari 512 dalam kalender Philion
Ibu kota Seveka yang dulunya makmur, dulu dikenal sebagai berkah kerajaan. Daerah yang indah dan makmur, menemui akhir yang mengerikan di tangan seorang penyihir.
Dan Elaine, dua puluh tahun kemudian, membuka matanya.