Almarhum Duke Benoit adalah pria yang tegas dan tidak berperasaan, seperti leluhurnya.
Namun, suatu hari dia pulang dari suatu prestasi besar dan menuntut seorang wanita sebagai hadiahnya.
Semua orang terkejut dengan tindakan yang tidak terduga ini, karena sebelumnya sang Adipati telah meminta uang atau makanan untuk wilayahnya yang tandus.
Dapat dimengerti jika dia meminta seorang putri atau wanita bangsawan, tetapi sang Duke menginginkan putri kedua dari seorang viscount miskin, Sarah Winston.
Terlepas dari reputasinya yang buruk, dia tetaplah seorang Adipati. Dia tidak begitu putus asa sehingga tidak dapat menemukan pengantin yang cocok dan harus menerima putri seorang Viscount yang miskin sebagai kompensasinya.
Jadi hanya ada satu alasan: sang adipati yang bagaikan patung itu telah jatuh cinta.
Kisah yang mirip dongeng itu menimbulkan kehebohan di kalangan atas. Angin sepoi-sepoi bertiup melewati tempat yang sebelumnya hanya dipenuhi rumor dingin dan mengerikan.
Itu adalah kabar baik bagi sang kaisar, yang merasa gelisah memikirkan harus membayar biaya kompensasi, dan bagi keluarga viscount, yang berada di ambang kebangkrutan.
Kaisar membayar keluarga viscount sejumlah uang yang hanya sebagian kecil dari biaya kompensasi, dan mereka segera setuju untuk menikahkan putri mereka.
Baik kaisar maupun viscount cemas kalau-kalau sang adipati berubah pikiran, tetapi sang adipati segera menyambut putri viscount sebagai istrinya.
Cinta yang melampaui status sosial. Skandal romantis ini mengubah sang adipati yang ditakuti menjadi pangeran berkuda putih dan putri viscount yang dulunya tidak penting menjadi Cinderella yang merebut kembali sepatu kacanya.
Itu adalah kisah bahagia bagi semua orang. Namun, kenyataan yang menyedihkan dan mengerikan adalah bahwa hal itu tidak terjadi pada Sarah.
Sebelum melamarnya, sang adipati terlebih dahulu mencari keluarga viscount untuk merayunya.
Namun Sarah menolaknya. Lamaran sang adipati terasa kasar dan menakutkan baginya, dan terlebih lagi, ia memiliki tunangan.
Akan tetapi, sang adipati tidak menyerah dan akhirnya berhasil memikatnya, lalu ia dijual oleh ayahnya dan kaisar.
Setelah diambil secara paksa oleh pria jahat, dia terjebak di wilayah utara yang dingin.
Sementara seluruh dunia mencuci otaknya, bersikeras bahwa semua orang pasti akan bahagia di tempatnya, kenyataan yang disajikan kepada Sarah jauh berbeda.
Di negeri asing, Sarah perlahan menjadi gila. Suaminya mengurungnya seperti piala, dan para pembantunya mengabaikannya.
“Tolong lepaskan aku. Tolong, tolong… Aku membencimu. Aku merasa seperti akan mati di sini.”
Sarah menangis dan memohon setiap hari. Sang adipati merasa terganggu oleh air mata wanita yang dicintainya.
Ia mencintai istrinya, tetapi bukan cinta untuk kesejahteraannya. Karena itu, ia tidak berniat mempertimbangkan keinginan istrinya.
Seiring berjalannya waktu, Sarah menjadi semakin rapuh. Kerinduannya akan hal yang mustahil menggerogoti dirinya, dan penampilannya yang layu membuatnya gelisah.
Sang adipati bertekad untuk menjaga Sarah di sisinya apa pun yang terjadi. Untuk melakukannya, ia harus menghentikan permohonan putus asa itu.
“Tidak apa-apa karena kita belum punya anak. Begitu aku kembali, aku bisa menikahinya. Kalau aku kembali saja…”
Jadi, mendengar gumaman Sarah adalah sebuah keberuntungan baginya, tetapi merupakan tragedi lain bagi Sarah.
Setahun kemudian, berita menyebar ke seluruh negeri bahwa Duchess of Benoit telah melahirkan seorang putri.
Meskipun wilayah utara terpencil, tempat berita jarang tersebar, pengumuman itu menyebar seperti api, seolah-olah ada yang mengaturnya.
Sejak Sarah mengetahui kehamilannya, ia berusaha keras mencari jalan keluar. Namun, ia tidak bisa mati atau membunuh.
Anak itu lahir sehat, meskipun ibunya dikutuk, dan begitu sang adipati mendengar tangisan pertama bayi itu, ia menyatakannya sebagai putri sahnya.
“Sekarang kamu tidak bisa pergi.”
Saat Sarah mendengar kata-kata dingin suaminya, dia melepaskan segalanya.
Ia tidak lagi merasakan para pelayan berbisik-bisik tentang majikannya yang sudah gila, atau tatapan suaminya yang meringis melihat dirinya yang berantakan.
Yang menyadarkannya kembali ke kenyataan adalah, ironisnya, suara tangisan bayi.
Begitu mendengar rengekan kecil itu, Sarah tiba-tiba mengangkat kepalanya. Pembantu yang tertidur itu tidak tahu bahwa sang Duchess sedang mendekati putrinya sendiri.
Dia menatap kosong ke wajah putrinya, yang baru pertama kali dilihatnya.
Rambut bayi itu sehitam rambutnya. Namun, wajah anak yang matanya tertutup itu anehnya meresahkan.
Dan saat bayi itu membuka matanya, Sarah mengerti alasannya. Mata itu. Mata abu-abu keperakan anak itu persis seperti mata suaminya.
Dengan tangan gemetar, Sarah menyentuh wajah anak itu. Saat ujung jarinya menyentuhnya, wajah polos dan tersenyum itu membuatnya merinding.
“…Raksasa.”
Bila suaminya yang memegang tali kekang, maka anak itu adalah belenggu yang diikatkan ke mata kakinya.
Sekarang Sarah tidak akan pernah bisa meninggalkan tanah tandus ini. Bahkan jika dia meninggal, jasadnya akan dikuburkan di sini.
Semua ini terjadi karena hal yang mengerikan ini…
“Kamu bukan anakku.”
Kebencian membuncah dalam dirinya, begitu kuatnya hingga pikirannya kosong. Sarah berbisik kepada anak itu dengan ekspresi ngeri.
“Kamu seharusnya tidak pernah dilahirkan. Aku tidak mungkin melahirkan monster sepertimu…”
Sambil berbisik dalam keadaan linglung, Sarah dengan kasar meraih anak itu. Bayi yang tadinya tersenyum itu menangis tersedu-sedu, dan saat itulah pembantu itu, yang terkejut, terbangun.
“Ya ampun, nona! Apa yang sedang Anda lakukan?”
Pembantu itu segera mendorong Sarah menjauh. Sarah, yang rapuh seperti ranting kering, terdorong lemah ke samping, tetapi anak yang terkejut itu menangis lebih keras.
“Monster. Kau monster. Kau bukan anakku.”
Saat wajah anak yang menangis itu berubah sedih, Sarah bergumam sambil menatap wajah aneh itu.
“Jadi pergilah ke ayahmu dan katakan hal itu padanya.”
Alyssa tidak ingin merasakan sakit.
Itulah sebabnya dia takut kepada kepala pelayan, ayahnya, dan para pembantunya.
Setiap kali mendengar suara langkah kaki mendekati pintu, dia akan dipukuli tanpa ampun. Setelah sekian lama tidak makan, perutnya terasa seperti mau robek, dan sarung pedang ayahnya terasa lebih sakit daripada kebanyakan cambuk.
Alyssa hidup dalam ketakutan akan semua hal itu, dari saat ia membuka mata hingga ia tertidur.
Namun, mimpi buruk Alyssa selalu berkisar pada satu hal.
“Sayang, lihatlah ke cermin.”
Sebuah suara lembut berbisik pelan. Sambil gemetar, Alyssa memejamkan matanya rapat-rapat.
Cengkeraman di bahunya semakin erat. Kuku-kuku tajam menancap di kulit Alyssa.
“Alyssa. Lihat ke cermin. Sekarang.”
Suaranya, kini lebih rendah, dipenuhi teror. Melihat mata Alyssa masih terpejam, wanita itu menggertakkan giginya dan memaksa membuka matanya.
“Lihat. Apakah aku masih cantik?”
Rambut ikalnya yang panjang dan hitam terurai seperti ombak. Beludru merah yang menutupi kulitnya yang putih berkilau.
Wanita itu berhiaskan permata di sekujur tubuhnya, tersenyum lebar seolah-olah mulutnya akan robek. Alyssa tidak dapat menatap ke cermin.
“Tapi lihatlah dirimu,” bisik wanita itu dengan manis.
“Lihatlah pemandangan yang mengerikan itu. Lihat wajah mengerikan itu, yang sama sekali tidak mirip denganku.”
Kata-kata yang bergema di telinganya menusuk bagai pisau. Pada akhirnya, dia tidak dapat menentang kata-kata ibunya. Alyssa menatap dirinya sendiri di cermin dengan mata gemetar.
Di antara rambut hitamnya yang acak-acakan, matanya terpaku pada pantulan dirinya. Sosok dirinya di cermin berbisik kepada Alyssa.
“Raksasa.”
Benjolan-benjolan mulai muncul di tubuh Alyssa. Saat rambutnya rontok, wajahnya yang mengerikan terlihat jelas.
Suara tawa aneh terdengar keras. Wajahnya yang terdistorsi tampak mencair.
Alyssa menjerit. Tidak. Aku tidak ingin melihatnya.
“Hadapi saja! Lihat wajahmu yang jelek. Lalu pergi dan katakan pada ayahmu bahwa kau, yang tidak mirip denganku, bukanlah anakku!”
Suara jahat itu menusuk gendang telinganya. Alyssa memutar tubuhnya kesakitan, tetapi cengkeraman wanita itu kuat.
Ibu, ibu. Kasihanilah aku.
Aku tahu lebih dari siapa pun bahwa aku mengerikan.
Ayah tidak mendengarkanku.
Air mata mengalir di wajahnya. Tidak peduli seberapa keras dia berjuang, dia tidak bisa lepas darinya.
Ah, jika aku membuka mataku, akankah kau ada di sana lagi?
“—Alyssa!”
Pada saat itu, sebuah suara yang jelas memecah mimpi buruk itu.
Alyssa tiba-tiba tersadar dari mimpinya. Penglihatannya yang kabur berkedip beberapa kali sebelum akhirnya terbuka, memperlihatkan ruangan yang remang-remang dan orang yang telah membangunkannya.
“Apakah kamu baik-baik saja?”
Mata hijau tua itu menatap ke arah Alyssa.
Begitu saja, suara bisikan di telinganya dan cermin yang terasa hendak menelannya seluruhnya lenyap dalam sekejap.
Keadaan di sekitarnya menjadi sunyi. Semuanya menjadi kabur, dan satu-satunya yang terlihat jelas adalah orang di depannya.
Alyssa merasa itu hanya mimpi.
Begitulah yang terjadi sejak pertama kali ia melihatnya. Ia dengan mudah melakukan hal-hal yang bahkan tidak pernah berani ia bayangkan.
Dia selalu terasa seperti mimpi—seperti keajaiban yang menakjubkan, namun dia mau tidak mau harus bangun dari mimpinya.
Saat itu masih tengah malam. Bahkan setelah terbangun dari mimpi, keadaan akan terus seperti ini.
Namun seolah bertentangan dengan pikiran Alyssa, kehangatan mulai bercampur dengan cahaya yang mengalir masuk lewat jendela.
Kegelapan yang terasa tak berujung itu pun memudar tak berdaya di hadapan matahari terbit. Langit yang kini bersih dari fajar kebiruan tampak putih bersih.
Pagi telah tiba setelah malam yang panjang.
Beberapa hari kemudian.
“…Yang Mulia.”
“Ya, ya!”
Terkejut mendengar panggilan Kieran, Alyssa menjatuhkan pisaunya saat dia sedang memotong daging dengan tenang.
Menyadari sikapnya yang tegang seolah-olah dia telah melakukan kesalahan besar, Kieran mendesah kecil.
“Apakah kamu masih khawatir tentang hal itu?”
“Yah, um…”